Menjawab Tantangan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS): Praktik Baik di Kolaka Utara

Mengapa perpustakaan dan literasi menjadi begitu penting? Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, sering kali respons dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan stakeholder, kurang antusias. Perpustakaan, dalam pandangan banyak orang, dianggap sebagai tempat yang tidak menarik, hanya dipenuhi tumpukan buku tanpa aktivitas yang dinamis. Ini adalah persepsi yang telah lama tertanam dalam masyarakat kita.

Namun, perpustakaan seharusnya dipandang lebih dari sekadar koleksi buku. Literasi yang tercipta melalui perpustakaan adalah salah satu pilar penting dalam membangun bangsa yang cerdas dan berpengetahuan. Menyadari hal ini, Perpustakaan Nasional menggagas Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS), sebuah program inovatif yang menekankan pentingnya perpustakaan sebagai pusat belajar dan kegiatan masyarakat. Program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui akses informasi dan pengetahuan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.

Secara hukum, pentingnya perpustakaan di Indonesia didukung oleh sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sayangnya, meskipun peran perpustakaan telah diakui secara legal, implementasinya masih kurang optimal. Pemerintah daerah dan instansi terkait sering kali belum memprioritaskan pengembangan perpustakaan sebagai bagian penting dari pembangunan masyarakat. Hal ini menjadi tantangan besar yang harus kita hadapi bersama.

Dalam acara Rapat Koordinasi Literasi di Kediri, Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca, Bapak Adin Bondan, menekankan bahwa perpustakaan memiliki dua fungsi utama: fungsi edukasi dan fungsi kebudayaan. Perpustakaan tidak hanya berperan dalam meningkatkan pengetahuan, tetapi juga dalam memajukan kebudayaan lokal. Namun, aspek kebudayaan ini belum sepenuhnya tergali dengan baik, karena perpustakaan masih sering dipersepsikan hanya sebagai tempat penyimpanan buku atau referensi penelitian.

Di era digital ini, tantangan bagi perpustakaan semakin besar. Masyarakat membutuhkan perpustakaan yang lebih dinamis, yang mampu menjadi ruang untuk inovasi, kreativitas, dan pemberdayaan. Literasi bukan lagi sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan kemampuan untuk memaknai dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Perpustakaan harus menjadi pusat literasi kesejahteraan yang memfasilitasi masyarakat untuk berpikir kritis dan kreatif.

Berbicara tentang masa depan suatu daerah dan bangsa berarti membicarakan generasi mudanya. Ketika membahas generasi muda, fokus utamanya adalah pada sumber daya manusia (SDM). SDM yang unggul berkaitan erat dengan kualitas, dan kualitas tersebut ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang dari kemampuan belajar, yang pada intinya tergantung pada daya baca. Daya baca seseorang sangat dipengaruhi oleh akses terhadap buku, dan buku merupakan inti dari literasi. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tidak layak disebut visioner dan peduli terhadap kemajuan daerah serta bangsanya jika ia tidak secara aktif mendukung dan memajukan gerakan literasi di daerahnya.

Kolaka Utara patut bersyukur memiliki sarana perpustakaan yang baik. Namun, infrastruktur yang baik saja tidak cukup. Pengelolaan perpustakaan harus kreatif dan inovatif agar mampu menarik minat masyarakat. Seluruh elemen pemerintah daerah harus bersinergi untuk memaksimalkan potensi perpustakaan sebagai pusat literasi dan pemberdayaan masyarakat.

Penulis mengenang kembali perjalanan dalam menggaungkan gerakan literasi, sebuah perjalanan yang penuh tantangan dan tekad. Di tengah karier yang mapan di dinas besar, penulis membuat keputusan yang bagi sebagian orang mungkin dianggap langkah mundur—meminta pindah ke perpustakaan, sebuah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang sering kali dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sebagai tempat “pembuangan.” Keputusan ini bukanlah tanpa alasan. Penulis melihat bahwa di balik stigma dan pandangan rendah terhadap perpustakaan, terdapat misi yang jauh lebih besar: membangkitkan kesadaran tentang pentingnya literasi dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap perpustakaan dan buku.

Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis. Menjadi manusia literat berarti memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu memahami dan memaknai informasi, serta menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan terbesar yang dihadapi penulis, dan kita semua, adalah bagaimana menyadarkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai pondasi bagi perkembangan pribadi dan kolektif. Tidak jarang, peran buku dan perpustakaan diremehkan atau dianggap kurang relevan di tengah era digital ini. Namun, di sinilah pentingnya kita, sebagai masyarakat yang ingin maju, untuk tidak mengecilkan peran perpustakaan dan buku sebagai sumber utama pengetahuan dan kebijaksanaan.

Melalui buku ini, penulis berharap bisa mengajak pembaca untuk bersama-sama mengangkat kembali nilai perpustakaan sebagai pusat literasi dan pemberdayaan masyarakat. Ini adalah PR besar kita semua: bagaimana membangun kesadaran di tengah masyarakat, bahkan di kalangan pengambil kebijakan, bahwa perpustakaan bukanlah institusi yang layak diabaikan. Justru, perpustakaan adalah tempat di mana gagasan-gagasan besar lahir, tempat di mana manusia belajar untuk menjadi individu yang lebih baik, dan tempat di mana masyarakat dibentuk menjadi lebih berpengetahuan.

Buku ini hadir untuk mengupas lebih dalam mengenai Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS), tantangan, peluang, serta langkah-langkah strategis yang bisa diambil untuk mengoptimalkan peran perpustakaan di tengah masyarakat.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam terbitnya buku ini. Semoga buku ini membawa manfaat bagi perkembangan perpustakaan dan literasi di Indonesia.

Salam literasi!
Kolaka Utara, Oktober 2024
Rosmawati
A. Idha Tumba Lolo Padjung


Menjawab Tantangan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS): Praktik Baik di Kolaka Utara
Copyright © CV Elfatih Media Insani, 2024

Penulis:
Rosmawati
A. Idha Tumba Lolo Padjung

ISBN:

Penyunting:
Kuspriyanto

Desain Isi & Penata Letak:
Tim Elfatih Media Insani

Desain Sampul:
Tim Elfatih Media Insani

Penerbit:
CV Elfatih Media Insani (Anggota IKAPI)

Cetakan Pertama, Oktober 2024
xxviii, 204 hlm; 15.5 x 23 cm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *