Alhamdulillah, kita bersyukur ke hadirat Allah Swt atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun buku ini untuk dijadikan pembelajaran bagi seluruh umat manusia yang meyakini bahwa segala benda-benda dan kegiatan ritual dalam ibadah Haji merupakan gambaran diri manusia secara hakikat. Sebagai salah satu contohnya, ketika kita melaksanakan Tawaf Ifadah dan Tawah Wada’. Ini merupakan pembelajaran kepada kita bahwa sebelum masuk rumah, izin dulu baru masuk. Begitu pun ketika akan pulang, harus minta izin.
Wukuf merupakan gambaran tentang Padang Masyhar dari manusia berkumpul menunggu hisab. Dalam kegiatan melaksanakan ibadah Haji, manusia harus menjaga segala akhlaknya dengan baik karena apa yang terucapkan dengan perkataan yang tidak benar langsung kita lihat ganjarannya. Ini merupakan teguran dari Allah Swt bahwa sesungguhnya manusia itu berasal dari tempat yang tinggi (ahsanu takwim) dan kembali ke tempat yang rendah (asfala safiliin) tergantung bagaimana mereka berbuat dan bertingkah laku di dunia ini.
Watansoppeng, Oktober 2022
Mulia Hasnah
Rasa terima kasih dan syukur kepada Allah swt senantiasa bersenandung dari dalam hati penulis. Karena kesadaran akan keyakinan bahwa rahmat dan izin-Nya jualah yang mendasari sehingga penulisan buku ini dapat dirampungkan. Selawat serta salam tak terputus kami kirimkan kepada rasulullah Muhammad saw, karena atas pengorbanan dan jasanya, umat manusia meninggalkan alam Jahiliyah berhijrah ke alam berpengetahuan dan berperadaban.
Buku yang kami beri judul “Makna Ritual Berhaji” ini sesungguhnya diinisiasi setelah terjadinya diskusi kecil di antara kami para penulis (Mulia Hasnah, Ahiruddin, dan Reski Amalia). Materi diskusi berkutat pada permasalahan tentang syariat agama Allah Swt yang diperintahkan kepada umat manusia, khususnya kaum muslimin. Apa hikmah dan pembelajaran yang terkandung di balik perintah Allah Swt dalam syariat agama tersebut?
Pertanyaan tersebut muncul karena keyakinan kami akan perkataan (Firman) Allah Swt: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Bahwa Al-Qur’an yang di dalamnya memuat beberapa perintah dan larangan Allah Swt dan ditujukan kepada umat manusia (khususnya umat muslim) untuk menaatinya, tentu saja mengandung implikasi-implikasi kebaikan bagi yang melaksanakannya, begitu pula implikasi-implikasi keburukan terhadap mereka yang menentangnya/mengingkarinya. Akan tetapi, baik mereka yang melaksanakan ataupun mereka yang mengingkarinya tidak mengetahui secara “pasti” kebaikan dan keburukan apa yang mereka peroleh selain perkara PAHALA dan DOSA.
Di saat yang sama, syariat agama tidak akan mungkin direalisasikan oleh umat manusia tanpa adanya sikap dan perilaku. Sikap perilaku umat manusia tersebut lambat laun berkembang menjadi adab dan budaya, sehingga perkara-perkara agama ada yang dilaksanakan dan diwujudkan dalam bentuk budaya dan peradaban.
Sebagai contoh, rasa syukur (yang merupakan salah satu perintah dalam syariat agama) harus terus ditanamkan dalam diri. Kesyukuran seseorang bisa terwujud dalam bentuk kelapangan atau keikhlasan dalam hati (kesyukuran seperti ini tidak dapat disaksikan orang lain selain pribadi orang yang merasakannnya) menerima ketentuan Allah Swt yang berlaku kepadanya. Namun, dalam bentuk yang lain, kesyukuran dapat pula diwujudkan dalam bentuk realitas (nyata) seperti penyajian beberapa macam benda dan makanan yang didahului dengan pembacaan/penyampaian doa sebelum mengajak dan mengundang orang lain untuk menikmatinya, dalam adab budaya orang Bugis dikenal dengan istilah Mabbaca Doang.
Adanya fakta dan realitas seperti yang diuraikan di atas, semakin meneguhkan pertanyaan dalam diri penulis bahwa di balik adab dan budaya yang dipraktikkan oleh masyarakat (khususnya masyarakat Bugis) sesungguhnya terselip pesan-pesan syariah (agama) di dalamnya.
Dengan tekad dan dorongan ingin tahu akan semua hal tersebut, maka penulis memulai kajian untuk dituangkan dalam bentuk buku bacaan (khusus untuk edisi buku kali ini) penulis memusatkan perhatian khusus pada ritual ibadah Haji. Lahirlah buku dengan judul “Makna Ritual Berhaji”.
Semoga para pembaca dapat memetik hikmah dan pembelajaran di balik ritual pelaksanaan ibadah Haji, sehingga ibadah Haji yang merupakan rukun ke-Islaman kelima bagi umat muslim ditunaikan atas dasar ketaatan dan ketundukan kita terhadap syariat agama sekaligus mengambil hikmah dan pembelajaran untuk mengenal diri kita sesungguhnya baik untuk kehidupan di dunia ini maupun untuk kehidupan setelah dunia (akhirat).
Semoga Allah Swt tetap menuntun kita untuk terus berada di jalan-Nya dan menebalkan keyakinan kita akan kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Watansoppeng, Oktober 2022
Ahiruddin